Anda Harus Tahu, Kehebohan Ngopi di Lapau Tradisional
Di daerah saya Pesisir Selatan Sumatera Barat sana, ngopi di lapau (warung) merupakan budaya turun temurun sejak dahulu sampai sekarang.
Kini tradisi tersebut telah menjadi gaya hidup masyarakat dunia. Kaum urban di tanah air, membahasakannya dengan “kopi darat”. Ada juga yang menyebutnya “ngopi bersama”. Kalau boleh saya menambahnya dengan istilah, “ngobar”, atau ngopi bareng. He he ....
Ngopi Modern dan Ngopi Tradisional
Apakah trend ngopi bersama sanggup menggeser gaya ngopi di lapau? Jawabnya tidak.
Di segi tempat, ngopi bersama cendrung modern dan berkelas. Bahasa kekiniannya di Coffee Shop. Komposisi kopi yang dinikmati pun kualitas tinggi. Termasuk jenis arabika yang bertekstur halus, lebih wangi, yang tumbuh pada tanah vulkanik dengan ketinggian 1630 mdpl. (Agar tidak meluber ke mana-mana, insyaallah tema ini akan dibahas di lain kesempatan).
Sedangkan ngopi di lapau, nuansa tradisionalnya amat kental. Ngopinya satangah atau sakarek (setengah atau sepotong/separoh), otanyo (ceritanya) selilit dunia. Ditemani pula pisang atau ubi goreng panas.
Tentu warga SKB ingin tahu tentang istilah kopi satangah alias kopi sakarek. Di warung kopi urang pasisie (orang Pesisir Selatan), kopi bisa dipesan dalam 2 porsi. Satangah dan ciek. Artinya, setengah gelas dan segelas penuh.
Untuk paket setengah, wadahnya gelas kecil diisi penuh. Sedangkan ciek disajikan dalam gelas belimbing atau agak besar, air kopinya juga penuh.
Tapi tak jarang juga belanja kopi setengah pakai gelas besar. Muncul gurauan, “kopi satangah aianyo panuah. Artinya, “Pesan kopi setengah, minta airnya diisi penuh.”
Nambah Air Berkali-kali
Pengunjung kaum adam. Rata-rata mereka hadir mulai habis Isya. Diskusinya tak jauh-jauh dari masalah pertanian (bagi petani). Mereka yang berprofesi sebagai nelayan, membahas persoalan ikan dan alat tangkap. Tergantung warung kopinya berada di lingkungan mana.
Zaman sekarang, mungkin sesekali ota-nya merembet ke masalah politik, pemerintahan dan selebritis.
Uniknya, apabila gelas kopinya sudah kering pelanggan boleh minta airnya ditambah berkali-kali. Namun tak ada bunus untuk gula dan kopi. Saking asiknya, tanpa terasa jarum jam menunjukkan angka 00,00.
Tak heran, di daerah setempat banyak ditemui warung kopi. Beda dengan di Kerinci tempat saya berdomisili sekarang. Paling kalau mau ngopi di lapau, adanya di warung nasi. Habis minum segera pergi. Dimana hebohnya. Coba.
Kesulitan Mencari Warung Kopi
Sebelum menulis artikel ini saya kesulitan mendapatkan nara sumber. Di ibu kota Kabupaten memang banyak warung kopi kecil-kecilan, yang berlokasi di lorong-lorong sempit. Prediksi saya, omsetnya > Rp 75 ribu. Yang langka, ngota atau ngobrolnya. Maklum era digital. Masyarakat lebih mengedepankan Efektifitas waktu.
Warung Kopiku Laris Manis
Pasca menikah saya dan suami belum punya pekerjaan tetap. Tinggal di sebuah rumah kedai milik mertuaku di kampung halaman. Untuk bertahan hidup kami membuka warung kopi kecil-kecilan, plus jualan lontong buat anak SD.
Sering kami begadang sampai pukul 01.00. Suami menemani tamu ngota, saya bikin gorengan. Dini hari, saya bangun lagi menyiapkan kue buat pelanggan ibu-ibu rumah tangga. Ada juga pecandu kopi yang datang pagi, sebelum berangkat ke sawah atau ladang. Pukul 07.00, lanjut melayani anak sekolahan belanja lontong.
Warung kami laris manis, pengunjungnya ramai. Berimbas pada hasil yang super lumayan menurut kantong saya zaman itu (1974).
Sayangnya, saya tak ingat lagi segelas kopi dijual berapa. zaman sekarang, porsi satangah dihargai antara Rp 4-5 ribu. Segelas belimbing (ciek) Rp 7-8 ribu. Jualan kopi itu untungnya gede. Belum lagi laba gorengan.
Saking ramenya, saya minta salah satu saudari Emak untuk membantu. Saya tetap bekerja penuh semangat.
Oknum Pembeli Mulai Berulah
Sayangnya, kondisi tersebut hanya bertahan kurang lebih 4 bulan. Setelah itu, pelanggan mulai berulah. Dagangan saya sering diutangi. Usai minum, mereka bilang, “Catat dulu ya! kopi sakarek, gorengan duo (dua).”
Ironisnya, setelah utangnya numpuk, mereka pindah tongkrongan ke lapau kopi lain. Yang menyakitkan, saat lewat di depan warung saya, mereka membuang muka. Seolah-olah tidak kenal.
Ada juga oknum yang penuh kepura-puraan. Sebulan minggat kembali lagi. Tetapi ia tak pernah menyenggol utangnya yang tercatat. Pura-pura lupa, pura-pura tak pernah berutang. Selanjutnya belanja kes sekali dua, terus minta dibukukan lagi.
Warung Kopiku Gulung Tikar
Setelah mencoba bertahan sampai berdarah-darah, lapau kopi kami gulung tikar pada bulan ke 11.
Hanya sebagian kecil pelanggan yang jujur. Sisanya, sampai saat ini masih tertoreh dalam buku malaikat Kiraman Katibin. Karena tak ada niat membayar utang itu termasuk amalan buruk.
Di antaranya saat saya pulang kampung sering ketemu. Wajah dan namanya masih saya kenal. Rata-rata kehidupan mereka tidak lebih baik daripada saya.
Demikian sepenggal kisah pahit manisnya buka warung kopi yang pernah saya alami 47 tahun yang lalu. Setiap saat saya berdoa, semoga anak cucu saya memperoleh peruntungan lebih baik. Dan jangan pernah mengais rejeki di lapau kopi kelas kampung, seperti yang pernah saya lakoni. Semoga menginspirasi.
Salam dari Pinggir Danau Kerinci. Jangan Lupa pesan Emak! #Pakai masker, #jaga jarak, dan #sering cuci tangan pakai sabun selama 20 detik dengan air mengalir.
****
Ayo ngopi-ngopi bund
BalasHapusSip, ananda Dinni.
HapusItu memang gaya urang awak, kopi satangah, otanyo sampai tangah malam. Rokok minta pulo ka kawan. Hehehe.
BalasHapusTerutama kami urang tapi lauik. Lah habis kopi nyo minum, baru nyo kecek. "Masuk buku dulu yo, Ni." he ... He
HapusMari ngopi-ngopi bu Nur☺️🙏
BalasHapusSiap, Mas Warkasa.
HapusWah, kisah yang seru Bunda
BalasHapusKisah nenek-nenek zaman doeloe, ananda zoreyda. He he .... S
HapusKisah perjalanan yg hebat.
BalasHapusBegitulah kehidupan ya, Mas.
HapusBu .. kopinya setengah, airnya sebaskom yaa 😃
BalasHapusSiap, Bu. He he .....
HapusSenang akhirnya bisa juga membaca tulisan Bu Nursini.
BalasHapusSemoga Ibu sehat selalu.
Kopinya enak ini Bu
BalasHapus