Jangan Dibaca! Ini Bukan Kisah tentang Warung Kopi
![]() |
Gambar gorengan adalah dokumen Budi Susilo
Pukul sembilan pagi. Hujan meluruh tipis.
Gorengan hangat, belum lama diangkat. Namun di wadah plastik tinggal satu kerat
tempe, empat potong ubi, lima pisang, bersama dua buras (lontong berisi tumis
oncom). Tempat di sampingnya berisi bihun goreng. Bakwan (bala-bala, heci),
risoles, nasi uduk dan mi goreng sudah tandas dari tadi.
Gerimis pagi membuat dagangan ibu berputra
satu itu laris. Kecuali buras, nasi uduk, mi bihun goreng, jajanan lainnya yang digoreng dadak. Dengan itu, pembeli bisa menikmati gorengan panas.
Menurut pengakuan wanita, yang suaminya telah
berpulang, jumlah penganan tersedia sekitar 150 an buah. Sedangkan menu sarapan
lainnya dibuat tidak lebih dari 30 porsi. Keterangan tersebut rasa-rasanya dapat dibenarkan,
melihat bahan berupa tempe, pisang oli, ubi, tepung masih tersedia cukup
banyak.
![]() |
Gambar Bu Yanti adalah
dokumen Budi Susilo
Dengan persediaan tersebut, Ibu Yanti berdagang sampai Maghrib setiap hari, di depan rolling door, menempati teras rumah kosong. Biasanya pedagang nasi uduk dan gorengan itu buka saat jam sarapan.
"Harus jualan dari pagi sampai sore, agar
bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Bu Yanti dengan nada optimis.
Ia enggan berpangku tangan meratapi nasib. Ia pun tidak mau bergantung kepada kerabatnya.
Pernah ke rentenir?
"Ah, enggaklah. Meminjam uang ke bangke
(bank keliling-pen.) banyak ruginya. Pengembaliannya gede!"
Pernah menerima bansos?
Dulu sempat menerima bantuan sembako, namun
untuk BLT yang sekarang ia mengaku belum pernah menerimanya.
"Gak dipilih sama Pak RW,"
tandasnya.
Bisa menutup biaya menyewa rumah petak sebesar
Rp 700 ribu sebulan, biaya anak, dan keperluan harian Bu Yanti sudah bersyukur.
Ia bertekad menyisihkan Rp 50 ribu dari perputaran usahanya.
Nah, sekarang coba kita uji pendapatan harian dari usaha Bu Yanti berdasarkan keterangan di atas.
Asumsi:
- 200 gorengan dan buras @ Rp 1.000,-
- 30 porsi nasi uduk, mi bihun goreng @ Rp 3.000,-
- Biaya langsung (bahan baku, tepung, bumbu, minyak goreng, gas) 60 persen dari omzet.
- Sewa rumah petak Rp 700.000 / 30 = Rp 24.000 per hari.
Perhitungan:
A. |
Gorengan & Buras |
Rp |
150.000 |
B. |
Nasi uduk,
mi bihun goreng |
Rp |
90.000 |
C. |
Total Penjualan (A+B) |
Rp |
240.000 |
D. |
Biaya Langsung |
Rp |
144.000 |
E. |
Pendapatan (C-D) |
Rp |
96.000 |
F. |
Biaya sewa Rumah Petak |
Rp |
24.000 |
G. |
Penghasilan (E-F) |
Rp |
72.000 |
Dengan kata lain, target penyisihan pendapatan per hari terpenuhi. Namun penghasilan di atas belum dipotong biaya lainnya, misalnya ongkos ke pasar, pulsa, dan lainnya yang tidak diketahui. Sehingga, penghasilan bersih per hari diperkirakan kurang dari 50 ribu atau bahkan di bawah 40 ribu.
Ditambah
persoalan konsistensi
dalam berdagang, karena tidak selamanya ia bisa buka setiap hari. Tentunya ada saja
halangan, karena: ada keperluan, perayaan hari besar, sakit, dan seterusnya.
Penghasilan bersih Bu Yanti di atas kertas memang
berkurang. Namun wanita ceria itu tidak mengkhawatirkannya, tetap optimis. Ia meyakini
bahwa rezeki cukup senantiasa ada, sepanjang berusaha dengan sungguh-sungguh
dan jujur.
Bagaimana caranya?
Di antara kesibukan berjualan penganan dan
menggoreng, Bu Yanti menyediakan kopi seduh, meskipun saset kopi tidak
dipajang. Dan yang tersedia pun hanya satu jenis, yaitu kopi hitam bergambar
naga, favorit orang Bogor.
![]() |
Gambar kopi adalah
dokumen Budi Susilo |
Dengan harga 3 ribu, ia mendapat keuntungan seribu rupiah per gelas, ia
bisa menjual sebanyak 10-15 kopi seduh per hari. Lumayan dapat menambah omzet
penjualan.
Oh ya, total penjualan usaha di atas melampaui
ketentuan (240 ribu + 45 ribu) dan tidak bisa mengikuti event “Cerita Warung Kopi”
yang sedang diperlombakan. Biarkan saja.
Artikel ini bertujuan mengulas keuletan dan
rasa optimisme Bu Yanti dalam menjalankan usaha berjualan buras, gorengan, nasi
uduk, mi bihun goreng
Jadi, sikap optimis, kejujuran, keuletan dalam
berusaha itulah yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi kita umumnya dan saya
khususnya, meskipun ia bukan warung kopi, juga bukan usaha mikro beromzet
kurang dari Rp 150 ribu per hari.
Mari ngopi.
Semangat Bu Yanti , semoga berkah 🙏
BalasHapusAamiin.
HapusGa dibaca tapi ngintip bu Yanti yang lagi masak😁 semoga rezeki bu Yanti bertambah dan berkah, aamiin
BalasHapusNgintip sambil ngentit pisgornya 🤣
Hapus😁😅 hanya ambil satu pisgornya😂
HapusPantesan, tempe tinggal satu. Ngintip sambil ngambil ya
HapusSiapa yang makan tempe tiga, tapi ngakunya satu?
BalasHapusYang jelas bukan aku 😀😀😀
Nah ini, pasti kebiasaan zaman sekolah ya
HapusWaah lengkap ulasannya😁👍 semoga lancar usaha bu Yanti☺️🙏
BalasHapusKalkulasi yg masuk akal. semangat dan sehat selalu bu Yanti dan pengintipnya.
BalasHapusKerreeeen..Bu Yanti yg memnginspirasi..
BalasHapus