Mengusir Pertanyaan "Kapan Masuk Sekolah" agar Tak Terdengar Menyedihkan
![]() |
Ilustrasi kelas kosong.Gambar oleh David Mark dari Pixabay |
“Pak, kapan kita masuk sekolah!”
“Pak, kapan kita belajar lagi seperti biasanya!”
Sebagai seorang
guru yang mengajar di sekolah dengan fasilitas seadanya, aku seakan begitu
rimpuh saat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Terang saja, dua
pertanyaan di atas adalah sebagian kecil dari ungkapan jujur siswa yang
seharusnya dijawab dengan nada jujur juga.
Bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi bila guru menjawabnya dengan ucapan “esok
hari, Nak!” atau “setelah pandemi berlalu, Nak!”
Anak-anak
akan terjebak dalam sumur penantian bersama dengan gelapnya titik tunggu. Dalam
artian, belum ada kepastian kapan sekolah dibuka.
Kita takut?
Tentu saja, semua orang cukup resah dengan eksistensi pandemi yang belum
kunjung surut. Di negeri tercinta, hampir 8 bulan pandemi melanda. 8 bulan siswa
terombang-ambing dalam situasi ketidakpastian dan kebosanan. Terus terang saja
itu bukanlah hal yang mudah.
Sedangkan di
sisi lain, pemerintah boleh dibilang cukup berani menyilakan satuan pendidikan
di zona hijau dan kuning untuk membuka sekolah.
Dalam tuanganSKB 4 Menteri yang rilis di laman Kemendikbud pada bulan Agustus kemarin,
sekolah zona hijau dan kuning bisa dibuka setelah mendapat izin dari dinas
daerah terkait, gugus tugas covid-19, serta orang tua siswa.
![]() |
Ilustrasi covid-19. Pixabay |
Barangkali cukup banyak satuan pendidikan yang mencoba untuk buka sekolah menurut aturan zona dan protokol kesehatan yang berlaku. Tapi, imbasnya kemudian adalah, sekolah tadi jadi sering buka tutup. Termasuklah di sekolah tempatku mengajar saat ini.
Dua minggu
buka, sebulan tutup. Seminggu buka, kemudian tutup lagi. Hal ini sulit untuk
dimungkiri karena kehadiran pandemi juga tak bisa ditebak. Bukanlah hal yang
tidak mungkin bahwa suatu daerah yang hari ini berzona kuning, besok bisa
menjadi zona merah hingga hitam.
Alhasil,
problematika ini kita kembalikan lagi kepada keseriusan masing-masing daerah untuk
menangani pandemi. Dan? Mulailah digencarkan razia masker. Barangsiapa yang
tidak pakai masker akan didenda dengan nominal tertentu, disuruh bersih-bersih
menggunakan rompi.
Kalau kita
bayangkan lagi, sungguh ini adalah situasi yang menyedihkan. Sekilas, apa
bedanya masyarakat dengan anak-anak SD yang dihukum untuk hormat tiang bendera
gara-gara tidak buat PR. Tidak ada bedanya, kan?
Lagi-lagi,
disiplin adalah masalah yang kurang penting namun krusial. Terlihat tidak
penting karena tidak semua orang peduli. Terlihat krusial karena menyangkut
keselamatan umat sampai-sampai harus dilaksanakan razia. Ah! Miris juga kalau
kita bahas lebih jauh.
Pertanyaan
“Kapan Masuk Sekolah” yang Terdengar Menyedihkan dan Sikap Pendidik yang Seharusnya
Ketika kita
kembali membahas pertanyaan “Kapan Masuk Sekolah”, maka ketika itu juga kita
seakan mengulik lagi hal-hal yang menyedihkan. Kesedihan ini sejatinya tidak
hanya berkutat di sektor pendidikan saja melainkan juga ke semua aspek
kehidupan.
Hanya saja, sebagai bangsa pejuang, sudah seharusnya kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan.
Memang,
pertanyaan “kapan masuk sekolah” cukup sedih bila kita dengar sempat terucap
dari mulut siswa secara jujur. Tapi, sebagai manusia biasa, kita bukanlah pihak
yang dapat memberi kepastian.
Beberapa waktu
yang lalu, Mas Mendikbud Nadiem juga sempat mengutarakan kesedihannya. Dalam
acara live Instagram bersama Dian Sastro, Mas Nadiem berkata seakan-akan sedang
menyemangati dirinya secara pribadi, serta para pelaku pendidikan pada umumnya.
"Ya, itu pertanyaan yang saya dengan sangat sedih harus menjawab saya tidak tahu jawaban itu. Karena kalau saya bisa menanyakan Covid-19 kapan Anda pergi dari sini, tentunya saya akan tahu jawabannya," ucap Mas Nadiem (9/10/2020).
Mas Nadiem
juga sedih, adalah wajar, kan? Beliau adalah Bapak yang bertanggungjawab penuh
dalam menjaga eksistensi pendidikan di tengah pandemi. Mas Nadiem juga
sebenarnya berharap bisa menjawab pertanyaan kapan masuk sekolah dengan
kepastian. Tapi sayang, kepastian itu hanya milik Tuhan.
Alhasil,
sikap kita sebagai para pendidik adalah terus memacu diri untuk beradaptasi
dengan PJJ. Isu akan adanya vaksin covid-19 rasanya tak perlu kita tunggu kapan
kepastian pendistribusiannya.
Terang saja,
pendidikan harus jalan terus, tak bisa ditunggu-tunggu, walau dalam kondisi
darurat seperti apapun juga. Meski begitu, keselamatan dan keamanan pelaku
pendidikan juga harus terjamin.
![]() |
Hadirkan Semangat. Gambar oleh 14995841 dari Pixabay |
Syahdan, sebagai guru sekaligus orang tua siswa, kita juga perlu menghadirkan sikap optimis yang bertumbuh-tumbuh. Biasanya, sikap optimis di tengah kesulitan akan mengantarkan seorang guru/orang tua lebih kreatif dalam mendidik anak.
Ibaratkan kita
terjebak di sebuah sumur bernama pandemi. Kita pasti akan berjuang dengan
berbagai cara agar bisa keluar dari jebakan sumur tersebut. Dan terakhir,
optimis bukanlah hal yang sia-sia sebagaimana usaha yang tak pernah
mengkhianati hasil.
Salam.
Iya bener pertanyaan yang sama yang d ajukan murid, ortu bahkan pengemudi online😁
BalasHapusMereka bener-bener banyak tanya ya bu 🤭🙏🙏
HapusNimbrung sini ya... Mau tanya ya Pak Guru, jadi sebenarnya kapan kita masuk sekolah? Hehehe...
HapusTurut menyibak....eh... menyimak
BalasHapusBonus mi ayam ya pak. 🤭🙏
HapusIkut menyimak pak Guru☺️🙏
BalasHapusAhsiyyap. Tengkyu Pak😀🙏
HapusSendu bgt bacanya ☹️
BalasHapusIya, Mbak. yang nulis juga. Hemm
HapusTetap optimis dan insya Allah selalu ada jalan keluar utk semua persoalan tmsk saat pandemi. Trims, Pak Guru 💪🔥
BalasHapusAamiin ya rabb. InsyaAllah selalu optimis mendapatkan jalan keluar. Makasih, Bu Yana. Salam hangat selalu
HapusSemoga segera berlalu ya Pak Ozy
BalasHapusAamiin
HapusMudah mudahan ya Bu