Balada Kuliah Online
Manusia di era revolusi industri 4.0 ini memang serba online. Hampir segala sesuatnya dapat dilakukan dengan berselancar di internet.
![]() |
Source Photo: binbiriz.com |
Tidak perlu menggunakan banyak perlengkapan
digital, cukup dengan satu buah perangkat yang memungkinkan dapat melakukan
banyak hal di dalamnya. Sebut saja handphone atau perangkat lainnya, yaitu
laptop.
Penggunaan handphone maupun laptop terbilang sangat
mudah, tidak perlu kesulitan membawa keduanya disetiap aktivitas harian.
Kemudahan adalah kata kunci yang membuat
segala hal yang sifatnya online menjadi sebuah hal yang menarik untuk
digunakan. Setelah ramai dengan toko, ojek, dan taksi online, hingga beli rumah online,
kini giliran kegiatan belajar mengajar yang turun ke dunia online.
Apalagi di saat pandemi COVID-19 ini, membuat
kita harus melaksanakan kegiatan di rumah. Salah satunya kuliah online
yang tak mau kalah untuk menunjukkan aksinya. Tapi, apakah efektif dan efisien?
Mari kita tinjau bersama.
Sebelum kuliah online berlangsung, banyak yang
berpendapat bahwa jika dilakukan di rumah secara online, mungkin akan lebih mudah.
Apalagi tidak perlu ongkos untuk ke kampus juga waktu yang tidak terbuang di
jalan.
Namun pada kenyataannya setelah dilaksanakan, sebagian
besar orang mengeluhkan keberadaan kuliah daring atau kuliah online ini.
Pertama, saat semua proses belajar mengajar
telah berlangsung di rumah dan tidak menggunakan fasilitas kampus, seperti wifi,
library, lapangan, taman belajar, tempat ibadah, aula, parkiran, seharusnya
pembayaran pun turut berkurang mengingat mahasiswa/i tidak datang ke kampus dan
menggunakan fasilitas-fasiltas tersebut. Tapi, masih ada saja kampus yang tidak
menurunkan biaya perkuliahan tersebut tanpa alasan yang jelas.
Kedua, kuliah online memang menghemat ongkos, tapi
akibat dekatnya tempat tidur dan laptop, mahasiswa pun kerap mendengarkan
penjelasan dosen dari tempat tidur sehingga rentan untuk tertidur akibat rayuan
sang pulau kapuk alias kasur.
Ketiga, kurangnya interaksi antara mahasiswa
dan dosen pada saat kuliah online berlangsung. Bayangkan jika berada di kelas,
kemampuan dosen mengidentifikasi mahasiswanya yang sedang berbicara sangat
tajam karena ruang yang terbuka juga suara yang tidak terputus-putus. Berbeda saat
kuliah online, saat semua mahasiswa berbicara dan tidak bisa dikendalikan, yang
terjadi hanyalah kebisingan, apalagi jika ditambah dengan koneksi yang terputus.
Sang dosen pun akan bingung untuk menanggapi mahasiswanya.
Jalan keluarnya adalah membisukan semua
speaker yang ada (mute), dan hanya dosen yang berbicara. Maka terjadilah
komunikasi satu arah, dimana hanya dosen yang dapat berbicara hingga akhir jam
perkuliahan online.
Keempat, tugas yang berlimpah ruah menjadi senjata
utama yang ampuh untuk memberi nilai bagi para mahasiswa yang jarang bertemu dan
berinteraksi ini. Bisa dibilang, sebagian besar mahasiswa tidak mengerti saat
dosen menjelaskan, tapi tugas pun terus berdatangan hampir setiap harinya.
Akhirnya, mahasiswa mencari jawaban dari sumber-sumber
terpercaya seperti internet tanpa memahami isi soal, bahkan bekerja sama via
online dengan mahasiswa yang tidak mengerti lainnya, seperti orang buta menuntun orang buta.
Kelima, akibat kuliah online yang tidak siap
dan terlanjur berkepanjangan ini, jadwal perkuliahan juga menjadi berantakan. Jika
kuliah offline atau hadir di kampus dengan mata kuliah A pada pukul 13.00, saat
kuliah online, tak jarang ada dosen yang mengabaikan jadwal tersebut lalu
seketika menghubungi para mahasiswa untuk mengadakan pembelajaran mata kuliah A
pada pukul 10.00, sesuai dengan kehendaknya saja.
Yang terjadi selanjutnya adalah jadwal yang bentrok
akibat jadwal tetap yang diubah. Hingga pada akhirnya, ada beberapa mahasiswa yang
tidak bisa mengikuti perubahan dadakan tersebut. Miris, bukan?
Keenam, memang ada beberapa dosen yang mewajibkan
mahasiswanya untuk mengaktifkan kamera juga bertingkah serta berpakaian rapi
saat kuliah online berlangsung. Tapi ada juga dosen yang tidak mengharuskan hal
tersebut terjadi. Akibatnya, saat kamera dinonaktifkan, mahasiwa tidak memfokuskan
diri dan pikirannya pada pelajaran tersebut, malah makan, ngobrol dengan orang
yang ada di rumah, nonton drama pada perangkat lain, bahkan ada yang masih dalam
perjalanan.
Jadi, apakah efektif dan efisien? Sepertinya tidak juga, ya.
Walau kuliah daring memang membuat darah tinggi, tapi percaylah bahwa dalam hal ini penulis tidak ingin menyalahkan apapun dan siapa pun. Karena dalam keadaan terjebak pandemi seperti ini, memang yang paling dibutuhkan sesama manusia adalah saling mengerti satu sama lain saja.
Tak ingin menyalahkan siapa pun, semata-mata
hanya ingin berbagi duka kuliah online dan pengalaman menarik saat menjalaninya.
Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie
Terima kasih untuk artikelnya Mbak. Bermanfaat☺️👍
BalasHapusSiiip mba Stephanie
BalasHapus👍👍
BalasHapusSemuanya seperti itu mba Stefani
BalasHapusDan bermunculanlah para generasi ‘Rebah” ...
BalasHapusSemangat, mbak 🔥
BalasHapus