Kutemukan Filosofi Lima Jari di Yogyakarta
Dokpri
Pukul 10.45 WIB. Saya dan
rombongan tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Daerah Istimewa
Yogyakarta ini berada di selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri memiliki
luas 3.185,80 km2. Daerah ini terdiri dari satu kota dengan empat kabupaten,
yang masing-masing kabuptennya terbagi menjadi 78 kapanewon/kemantren dengan
438 kelurahan.
Setelah menghabiskan
sebatang Rokok, selanjutnya dengan
menggunakan Grab Saya dan rombongan bergegas menuju ke penginapan dengan terlebih
dahulu sarapan. Pukul 11.45 WIB kami semua tiba di Hotel yang terletak Jl.
Prawirotaman, Brontokusuman, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Dokpri
Setelah menaruh barang bawaan
di dalam kamar masing-masing yang telah disediakan oleh Panitia, kami
memutuskan untuk pergi dan mencicipi masakan khas Yogyakarta yang satu ini sebagai
santap siang pertama di kota ini. Sebab kata panitia, belum syah datang ke
Yogyakarta jika belum mencicipi makanan ini.
Makanan khas asal Jogja
ini terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan menggunakan santan, warna
cokelat pada makanan ini berasal dari daun jati yang dimasak bersama dengan
nangka muda tadi. Selain nangka muda, biasanya Gudek ditambahkan dengan bahan
pelengkap lainnya, seperti ayam, telur, kerecek atau lain sebagainya.
Dokpri
Pukul 12.18 WIB kami tiba
di Rumah Makan Gudeg Yu Djum Wijilan. Saya dan rombongan langsung mencari Meja
kosong yang masih tersedia serta langsung memesan menu khas ditempat ini.
Dan hem… untuk masalah rasa, Gudeg memang tidak bisa diragukan lagi, rasanya enak dan sedap dengan sensasi rasa manis dan gurih. Tapi Saya tidak menyangka, ternyata masakan khas ini terasa begitu manis sekali. Pantesan gadis-gadis yang berasal dari kota ini terlihat begitu manis dan enak di pandang mata, hehehe…
Dan hem… untuk masalah rasa, Gudeg memang tidak bisa diragukan lagi, rasanya enak dan sedap dengan sensasi rasa manis dan gurih. Tapi Saya tidak menyangka, ternyata masakan khas ini terasa begitu manis sekali. Pantesan gadis-gadis yang berasal dari kota ini terlihat begitu manis dan enak di pandang mata, hehehe…
Dokpri
*****
Setelah beberapa hari
terkurung di dalam ruangan, mengikuti acara pelatihan, maka tibalah waktunya bagi
kami bebas “berkeliaran” hari ini tanpa harus mengikuti arahan dari panitia
acara pelatihan di kota ini.
Saya bersama tiga orang teman
segera memesan jasa transportasi berbasis online, Go-Car, kami ingin
berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Di awal perjalanan menggunakan jasa
transportasi berbasis online di kota ini kami mengobrol tentang banyak hal,
terutama tentang Kota yang terkenal sebagai kota pelajar ini.
Di awal pembicaraan,
pengemudi Go-Car yang ramah ini menanyakan daerah asal kami, mungkin terlihat
bahwa kami memang bukan asli orang sini. Padahal Saya dan teman-teman lainnya
itu sudah terbiasa berada ditempat baru. Hehehe.
“Kalau mas dari mana?” tanya
pengemudi Go-Car yang kami naiki itu kepada teman yang duduk di kursi tengah
paling pinggir sebelah kiri.
“Saya dari Kalimantan
Pak. “ jawab temanku itu sambil tersenyum ramah.
“Kalau mas?” tanyanya
pada yang duduk di sebelahnya,
“Saya dari Jambi.”
jawabnya singkat.
“Kalau saya dari
Kalimantan.” kata teman Saya yang duduk di kursi paling pinggir pas di belakang
sopir sambil tertawa, dia sengaja menjawab pertanyaan sebelum di tanya, karena
memang tinggal giliran dia yang belum di tanya dari mana asalnya.
Mendengar jawaban teman
itu sontak pengemudi Go-Car yang kami naiki mobilnya itu tertawa.
“Disini sedang liburan
apa acara pekerjaan?” tanya nya lagi, masih berusaha menggali lebih dalam
informasi tentang kami.
“Liburan sambil bekerja
pak.” jawab teman yang berasal dari Kalimantan sambil tertawa, kami semua ikut
tertawa, karena merasa seperti sedang di Interogasi.
“Satu Perusahaan?” tanya
nya lagi masih tertawa sambil terus mengemudi.
“Bukan, cuma kami
kebetulan berada di acara yang sama dan punya tujuan yang sama.” kata temanku
lagi sambil tersenyum misterius.
“Tujuan apa?” tanyanya lagi,
sepertinya dia benar-benar ingin tau kegiatan kami di kota ini. Kami
saling pandang, lalu kembali tertawa berbarengan, membayangkan kemungkinan
pengemudi transportasi berbasis
online ini sedang berpikir bahwa kami
ini adalah sekelompok orang yang mempunyai niat tidak baik pada warga kota Yogyakarta
ini.
Setelah tawa kami semua
reda, sambil bercanda aku berkata, “Tenang Pak. Tampang kami ini jelas-jelas
jauh dari ciri-ciri khas teroris apalagi Preman bayaran yang dibayar untuk
membuat kekacauan di tempat ini,”
“Hahaha..”
Tanpa dikomando, Saya dan
teman-teman juga Pak sopir yang ramah ini tertawa berbarengan dan seperti lupa
kalau kami baru saja berkenalan beberapa saat tadi. Hampir di sepanjang perjalanan
waktu kami habiskan untuk bercanda dan tertawa di dalam Mobil ini.
“Wah ini menarik sekali
ini! Ada empat orang yang berasal dari lembaga dan daerah yang berbeda tapi
bisa duduk bersama di dalam satu Mobil ini.” katanya lagi kepada kami
disela-sela ketawanya mendengar banyolan kami berempat yang dari tadi
ganti-gantian menceritakan hal-hal lucu yang pernah terjadi di daerah asal kami.
“Menariknya dimana?”
tanyaku setelah tawaku sedikit reda.
“Bhineka Tunggal Ika,
seperti semboyan Negara kita.” katanya lagi sambil tersenyum melihat ke arah
kami melalu kaca Spion di dalam Mobil ini.
“Saya dan Mas – mas semua
ibarat Filosofi Lima Jari di dalam ukhuwah Islamiyah.” katanya lagi sambil
memperlihatkan ke lima jari tangannya.
“Ada lima golongan yang
kalau saja mereka mau bersatu, ibarat lima jari ini, maka semua perkara bisa
terselesaikan dengan sempurna jika masing-masing golongan itu mengerti dan tau
apa yang menjadi hak dan tanggung jawab dari golongannya.
Yang pertama adalah Jari
jempol, ini adalah simbol pemimpin. Dia yang utama dan induk dari ke Empat jari
lain-nya. Dan jempol ini adalah simbol pejabat. Kenapa ini identik dengan
simbol pejabat? Karena jempol biasanya identik dengan persetujuan, kebagusan,
dan sifat baik lainnya.
Bukankah biasanya Pemimpin
itu biasanya menjadi tokoh sentral untuk urusan setuju dan tidak setuju pada
sebuah keputusan? Pimpinan juga merupakan patron, dimana apa yang biasanya
dianggap baik oleh pemimpin, juga di ikuti oleh orang-orang yang di pimpinnya?
Coba angkat jempol untuk menyatakan rasa setuju, maka keempat jari yang lain
pasti akan menunduk.” Katanya lagi sambil mengacungkan jempol tangannya.
“Betul juga,” pikirku
sambil melihat ke arah teman-temanku.
“Yang kedua adalah Jari
telunjuk, ini adalah simbol dari orang-orang kaya. Sebab budaya orang kaya
biasanya menunjuk. Jika butuh apa-apa, orang kaya biasanya tinggal tunjuk
karena dia punya kekuatan.
Dengan harta yang dia
miliki, orang kaya atau yang memiliki dana bisa mengatur keputusan seorang
pemimpin untuk setuju atau tidak setuju akan suatu masalah. Sekarang coba
tunjuk sesuatu. Ketika sedang menunjuk maka ibu jari akan menekan ketiga jari
lainnya untuk tunduk.
Yang ketiga adalah Jari
Tengah, Ini adalah simbol Ulama. Posisinya di tengah. Jari tengah merupakan
jari yang paling tinggi di antara kelima jari lainnya, akan tetapi setiap kali
kita akan makan menggunakan tangan, atau mengambil suatu barang, secara
anatomis jari tengah akan menarik diri menjadi sejajar dengan empat jari
lainnya. Itulah perlambang kebijakan jari tengah, begitulah sebaiknya seorang
ulama atau tokoh agama.
Jari tengah tidak ke kiri
dan tidak ke kanan. Memang begitulah sebaiknya ulama. Dia tidak kemana-mana,
tapi ada dimana-mana. Posisi ulama itu berada ditengah-tengah umat. Sebab
disitulah lapangan perjuangannya. Di situlah habitatnya.
Maka jangan coba meninggalkan habitat kalau tidak mau tuntunannya hanya akan jadi tontonan umatnya.
Maka jangan coba meninggalkan habitat kalau tidak mau tuntunannya hanya akan jadi tontonan umatnya.
Keberadaan ulama
ditengah-tengah umat, laksana Harimau di tengah hutan. Keduanya saling
membutuhkan. Hutan perlu Harimau untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak
bertanggung jawab.
Dan Harimau perlu hutan, karena di situlah dia lebih berwibawa. Sebab jika Harimau sudah berada di dalam kandang kebun binatang, maka dia sudah menjadi barang tontonan yang sudah tidak memiliki daya apa-apa.
Dan Harimau perlu hutan, karena di situlah dia lebih berwibawa. Sebab jika Harimau sudah berada di dalam kandang kebun binatang, maka dia sudah menjadi barang tontonan yang sudah tidak memiliki daya apa-apa.
Yang keempat adalah Jari
Manis, Ini simbol remaja. Dimana segala sesuatunya tidak lepas dari unsur
“manis”. Senyum manis, wajah manis, suara manis, dan segala yang manis - manis.
Sekali lagi coba kita lihat. Pernah coba mengangkat jari manis? Bisakah dia
dengan sempurna berdiri tegak? Ternyata sulit bukan? Itulah ibarat masa remaja.
Pada masa itu, para remaja merasa sudah bisa mandiri, tidak mau diatur, maunya
bebas, lepas tanpa aturan, padahal sesungguhnya dia masih memerlukan topangan
dari orang tua, guru dan orang – orang lain di sekitarnya.
Yang kelima adalah jari
Kelingking, dalam susunan lima jari kita. Kelingking ini adalah simbol kaum
perempuan. Mohon maaf bukan bermaksud menyinggung kaum Hawa, karena ini
hanyalah sekedar simbol. Kelingking ini kecil, mungil tapi “fungsional”. Justru
karena kecilnya, dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh ke
Empat jari lain. Biarpun kecil, kelingking ini “menangan”. Coba ingat ketika
kita suit, kelingking bertemu jempol maka yang menang adalah kelingking.
Hehehe…
Artinya apa? Meskipun
kecil, tapi kaum wanita bisa ”merayu” para pemimpin. Sejarah telah membuktikan,
bahwa puluhan laki-laki perkasa bisa terjatuh di kaki kaum wanita. Maka sebenarnya
betapa hebatnya peran kaum wanita ini untuk menentukan masa depan dan peradaban
suatu bangsa.
Kalau semua unsur jari
ini bisa bersatu, maka pekerjaan apa yang tidak bisa dilakukan? Dari sekedar
bersalaman, menulis, menggaruk, membelai, memijit, memukul, mengangkat sesuatu,
menggenggam hingga melempar, semuanya bisa dilakukan dengan sangat mudah. Begitu
juga umat ini. Jika kelima unsur di atas bisa saling mengisi dan saling menjaga
antara satu dengan yang lainnya, maka tidak ada ada permasalahan umat yang
tidak bisa diselesaikan.” katanya lagi sambil mengakhiri ceritanya.
Untuk sesaat kami diam,
asik dengan pikiran masing-masing. Lagu milik Kla Project ini menemani perjalanan kami kembali ke Hotel tempat kami menginap.
Di sore menjelang malam ini Mobil yang kami tumpangi terus berjalan menyusuri jalanan kota,
setelah siang tadi, Pak Sopir yang baik ini memutuskan untuk menemani kami mengunjungi beberapa tempat yang ada di Yogyakarta ini.
Dokpri
Sambil menikmati alunan musik kembali Saya buka beberapa hasil foto tadi, di antara keramaian kota, Mobilnya yang kami tumpangi bergerak pelan menyusuri
jalanan kota Yogyakarta.
Selesai
Kerrren, artikel nya dalam banget 👍👍
BalasHapusHehehe.. terima kasih sudah mau membacanya, mbak😂🙏
HapusMenarik sekali
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan membacanya, mas 😁🙏
HapusSip.. bermanfaat dan inspiratif
BalasHapusTerima kasih sudah berkenan membacanya, mbak😁🙏
HapusWah! Di jogja juga bisa ditemukan filosofi cinta lho.
BalasHapusHemm, betulkah? Ajarin donk😂🙏
HapusWaah keren banget...
BalasHapusMantabz...
BalasHapusSalam kelingking... hehehehe...😄🙏
Eh...salam 5 jari ding....🤚
BalasHapusTau gak mas Warsa, dulu aku ingin punya suami orang Yogyakarta, saking cintanya , dapat juga sih, orangnya kuliah di Yogyakarta 🤣🤣🤣
BalasHapus