BAPAK dan BH
![]() |
sumber : Males.com |
Matahari
belum muncul, ketika dering HP di meja belajar mengagetkanku. Kulihat ternyata
panggilan dari Teh Ina, kakak pertamaku yang tinggal bersama Bapak dan Mamah. Cepat-cepat kuangkat panggilannya.
“Iya,
Teh?” Langsung saja aku bertanya. Tak biasanya, kakakku ini telpon di pagi
hari.
“Din, Bapak
ngga ada, Mamah nangis di kamar!” Kata Teh Ina. Terdengar nada panik dalam
kalimat-kalimatnya.
“Hah! Kok
bisa, kemana? Masa ga ada yang tahu?”
Jawabku kaget. Tak masuk akal,
bapakku tiba- tiba tidak ada di
rumah lepas Subuh.
“Iya, tidak
ada dimana-mana, Teteh sudah menyusul ke mesjid.”
“Terus?” Lanjutku.
“Tidak ada,
menurut Pa Gondrong, Bapak sudah pulang sehabis sholat jamaah,”
“Teteh
sudah cari kemana saja?” Tanyaku lagi.
“Kandang
ayam, rumah anggrek dan halaman belakang, biasanya Bapak di situ jika tidak ada
di rumah.”
“Ayo ke
sini, bantu Teteh menenangkan Mamah!” Kata Teh Ina panik.
“Iya nanti
ya, habis antar Kaka sekolah ya, Bapa ga akan kemana mana Insya Allah!” Jawabku
berusaha menenangkan hati Teh Ina. Setelah menutup percakapan sebenarnya ada
rasa khawatir yang begitu besar di hati mengenai Bapak.
Bapakku
pensiunan ASN sebuah BUMN dengan posisi terakhir lumayan agak tinggi. Usia Bapak 76 tahun lebih 4 bulan. Bapak belum pikun dan masih aktif menulis serta
menghapal ayat-ayat suci.
Kebiasaan
Bapak setiap dinihari sewaktu menemani Mamah sholat malam adalah minum kopi,
menulis dan mengirimkan sms kepada empat orang putranya termasuk kakakku yang
tinggal bersamanya. Isi SMSnya selalu
sama.
“Apa kabar?
Semoga selalu sehat, jangan lupa jaga kesehatan dan sempatkan sholat
malam!”
Kadang-kadang
kalau pas kebetulan terbangun, aku selalu membalasnyam tetapi pada kenyataannya
lebih sering tidak kubalas. SMS itu
selalu dan tetap datang setiap dinihari.
Hingga dinihari tadi bapak tidak seperti biasanya tidak mengirim SMS.
Setelah
mengantarkan Kakak, putra pertamaku ke sekolah.
Aku mampir ke rumah Mamah. Tampak Mamah sedang ditemani Teh Ina,
kakak pertamaku. Setelah salim
dan berpelukan, Mamah lalu bercerita.
“Bapak
tidak ada sehabis subuh tadi, pamitnya sholat subuh ke mesjid seperti yang biasa
bapak lakukan”
Mamah
berkata sambil menyusut air mata yang mulai menetes. “Hingga sekarang Bapakmu
belum datang,” lanjut Mamah lagi.
“Siapa yang
terakhir lihat Bapak teh?” Tanyaku pada Kakakku.
“Pak Gondrong
merbot mesjid, katanya Bapak pergi ke arah by pass,” jawab Teh Ina.
“Yudi dan
Iwan, sudah Teteh beritahu mereka akan ke rumah Mamah selepas Zuhur.” Lanjut
Teh Ina.
“Tut…….tut”
Hpku bergetar. Kulihat panggilan dari adikku Yudi.
“Halo Yud?”
“Teh Dina
di Mamah ya? Yudi sudah telpon semua Uwa dan Bibi di Jakarta, Bogor dan
Kuningan. Mereka semua tidak tahu keberadaan Bapak,” Yudi bercerita di telpon.
Aku
mendengarkan dengan seksama, “Mamah panik Yud, gimana ya?” Lanjutku lagi.
“Bilang
sabar dulu Teh, belum bisa lapor polisi karena belum 1 x 24 jam, pantau dan
terus telpon Bapak aja Teh yang kita bisa lakukan sekarang!” Jawab Yudi adik
bungsuku.
Akhirnya
setelah berdiskusi dengan Teh Ina, kami akan bergantian menemani mamah di
rumah. Karena hari ini hari Senin dan
biasanya pasien di puskesmas banyak, maka Teh Ina dulu yang menemani. Teh Ina seorang guru di SMP dan hari ini
jadwal PTS di sekolah. Dia bisa tukar jadwal dengan guru pengawas yang lain.
Aku
kemudian berangkat ke tempat tugasku, sebuah puskesmas di kecamatan kecil.
Sepanjang jalan menuju puskesmas, aku teringat Bapakku. Semoga Bapak baik-baik saja. Jalan Bapak sudah amat pelan sebenarnya,
ketika menuangkan kopi ke gelas biasanya tidak masuk semua ke gelas tapi
berceceran. Begitu pula ketika mengangkat gelas dari dapur ke meja ruang
keluarga biasanya air kopi berceceran di sepanjang jalan. Aku teringat pembicaraan kami berempat
anak-anaknya terakhir kemarin di grup WA keluarga, rata-rata kami sedang
menghindar berbicara dengan Bapak, karena Bapak sering mengkritik dan
mengevaluasi kami. Hal ini membuat tidak nyaman.
“Kalian sih
enak bisa menghindar, Teteh nggak bisa.
Setiap pagi pada saat menyeduh kopi, Bapak pasti minta waktu sebentar
untuk berbicara dengan tema yang beragam tapi cenderung menyelidiki. Semuanya ditanya,”
cerita Teh Ina masih lekat di ingatanku.
“Bapak mungkin
kesepian!” Pikirku. Setiap hari hanya
berdua dengan Mamah yang sudah sama tuanya dan agak pikun sehingga tidak bisa
saling bertukar pikiran. Ah, tiba-tiba aku merasa bersalah telah mengabaikan
Bapak. Laki-laki yang paling kusayangi
di dunia ini. Cerewetnya Bapak kepada kami
anak-anaknya bukanlah rasa ingin menang sendiri karena merasa orang tua, tetapi
lebih pada rasa sayang kepada anak-anaknya.
Bapak sungguh seorang laki-laki penyayang, masih kuingat sewaktu kecil
dulu, Bapaklah yang sibuk mencarikan kami obat jerawat jika di pipi kami
anak-anak perempuannya tumbuh jerawat. Bapak yang dengan sabar menemani dan
menunggui kami belajar berenang. Mengingat ini, air mataku tak terbendung
lagi.
Aku
akhirnya bisa membuka HP setelah pasien terakhir yang kucabut giginya
pulang. Hal pertama yang kulakukan
adalah membuka WA. Yang kulihat lebih
dahulu adalah grup WA keluarga.
“Alhamdulillah!”
Pekikku setelah membaca WA dari Teh Ina di grup keluarga.
“Yud, Iwan,
Tita, Alhamdulillah Bapak sudah bisa
dihubungi.”
Kulihat
semua menjawab Alhamdulillah.
“Bapak
sekarang ada di Bus Agramas sedang perjalanan pulang dari Bogor. Nanti sore
kita kumpul di rumah Mamah ya sambil menunggu kedatangan Bapak”.
Setelah
absen sore, aku bergegas ke rumah Mamah.
Sempat sebelumnya kubaca WA dari Teh Ina,
“Bapak sedang dijemput Aa Iwan di lampu
merah.”
Pukul 16.00
aku tiba di rumah mamah, tampak kulihat Bapak sedang dikelilingi Mamah, Aa Iwan,
Teh Ina dan Yudi. Mamah berulang kali
menyusut air mata. Di tangannya terdapat sebuah plastik hitam berisi bungkusan.
“Sini duduk
Dina!” Mamah langsung menyapaku.
“Bapak
darimana? Kami semua khawatir.” Tanyaku langsung setelah mencium punggung
tangannya.
“Begini,
Bapak tadi dari Bogor. Ke Pasar Bogor tepatnya,” Bapak mulai bercerita.
“Bapak
membelikan Mamah ini!” Sambil terisak Mamah memperlihatkan bungkusan yang sudah
dirobek.
Tiga pasang
BH merek Lobel. Setahuku itu BH yang
dipakai Mamah, BH merek jadul yang hanya ada di Bogor dan dijual di
satu-satunya toko di Pasar Bogor. Mamah
tak bisa memakai BH merek lain. Itu BH
yang selalu dipakai Mamah sejak gadis. Biasanya Mamah membeli BH itu ditemani
Bapak, tetapi sekarang tak bisa lagi.
Mamah tak bisa berjalan lagi, sekarang Mamah memakai kursi roda.
“Bapak,
tidak tega melihat BH Mamah yang sudah robek-robek dan Bapak tidak mau
merepotkan kalian, kebetulan Bapak baru dapat honor dari majalah Mangle.
Maafkan Bapak ya, sudah membuat kalian khawatir.”
Dan ruangan
menjadi hening, rasa bersalah menyelimuti ruang keluarga.
Karawang, 29 Januari 2020
Tjitjih
Mulianingsih Ws
Keterangan;
Aa =
Kakak laki-laki dalam bahasa Sunda
Teteh =
Kakak perempuan dalam bahasa Sunda
Mamah =
Mama/ibu
Hehehe di bapak perhatian pisan ka si mamah 👍 bu Tj spesialis nulis daleman 😁😁😁
BalasHapushehehe
HapusWah, sampai sebegitunya...
BalasHapusBtw, sudah pernah melakukan seperti itu belum pak, ke nyonya?
HapusHehehe, suami yang setia.
BalasHapusayo tiru pak
HapusWaah..
BalasHapuswihhh
Hapushahahahah
BalasHapuseh malah tertawa, belikan sana
Hapus