Balada Perempuan Pemanjat Kelapa 1
Sumber gambar : youtube.com
Berharap hadir lagi nama lelaki
adalah kemungkinan yang kuhindari. Cinta rinduku tlah tunduk pada lelaki mulia
yang telah lama hilang, berpulang. Tak ada yang bisa menggantikan, aku
sepi di tengah hiruk pikuk rayu bujang tampan dari segala penjuru mata
keriuhan.
Sampai dia datang, Jurnalis muda itu
begitu menawan, tidak kolokan, hanya ingin buat hatiku senang.
"Mbak, coba lihat sini!"
Serunya siang kala itu, saat lomba panjat pinang di lapangan kecamatan,
memperingati tujuh belasan.
Aku yang sedang di puncak tiang
hanya berani menoleh, dia dengan bertubi memotret jeprat-jepret membidik mukaku
yang belepotan hitam oli dan angus, tak ada sedikitpun cantik atau manis
kupamerkan, tapi dia malah tertawa senang. Duh, tanganku meraih satu gandul
hadiah, ih dapat gayung kamar mandi. Langsung kutimpukkan padanya.
Dia tertawa cekikikan
menghindar. Selanjutnya ada wajan, sapu korek, sapuijuk, sendal sepasang
bertebaran, ke mukanya, tapi dia selalu bisa sigap menangkis.
Serasa hitam padam aku dibuatnya,
bukan merah padam, karena mukakupun penuh dengan warna hitam. Bergegas aku
melorot, kaki saja, celanaku aman tak ikut melorot, tadi sudah kuambil tali
rafia untuk mengencangkan. Tak kuhiraukan orang - orang dibawahku yang
terjengkang. Mereka berteriak marah kesakitan.
Aku hanya fokus pada pemuda kurang
ajar itu, yang berani mengambil gambarku saat posisi memeluk tiang, ya hanya
aku satu satunya wanita yang berhasil memanjat tiang sampai ke puncak, karena
pesertanya cuma aku seorang.
Tetangga laki-laki yang mestinya
ikut jadi peserta menyerahkan tanggung jawab ikut lomba padaku, itu berkat
profesiku yang sehari-hari juga pemanjat kelapa. Bukan sok tomboy atau
maskulin, tapi ketrampilan itu warisan leluhur, tak boleh dilenyapkan begitu
saja, aku satu satunya anak emak dan bapak, maka terpaksa aku jadi pewaris
tunggal.
Atau kalau tidak maka aku akan
terantuk kutukan menjadi perawan tua yang tak laku laku. Ih, siapa mau. Meski
aku kini hidup sendiri, tapi kan aku pernah menikah, jadi masih laku lah.
Dia, yang memotretku tadi
berlari kencang, ternyata dia bukan warga kampungku, jadi tak tahu seluk
beluk jalan berliku, sampai di bibir sungai dia berhenti, tak
melanjutkan. Aku di atas angin, kamera yang tadi dipegang melambai
dipamerkan, kedua tangannya telentang menantang, menghadapkan badan ke arahku.
Aku terdiam, tak mampu melanjutkan
selangkahpun. Ah, aku wanita meski tampaknya dia jauh lebih muda tapi rasa malu
melarangku, dilarang menyentuh lelaki. kalau nekat kulakukan pasti
perebutan itu akan menghasilkan sentuhan, pergulatan.
"Kenapa mbak? Kenapa berhenti?
Ayo ! ini ambil kameranya!" Makin menantang dia.
Akhirnya aku hanya tertunduk lesu,
menitik air mata ini mengingat separuh hati yang telah pergi, lelaki, ah
lelaki.
Kameranya di masukkan ransel. Pelan
dia berjalan mendatangiku, diulurkan tissue, kuusap tangis di pipiku.
Tak ada lagi tawa kurang ajar.
Suaranya pelan, manis bertanya,"Kenapa mbak?"
Tercekat, aku tertunduk. Cukup lama sebelum akhirnya memberikan jawaban.
Bersambung
Catatan : Cerpen ini sudah pernah tayang di Kompasiana
Gokil..😂 Tapi keren mbak☺️👍
BalasHapus👍👍👍👍👍
BalasHapusMantab
BalasHapusWah ini cewek ksatria apa cemen he he he
BalasHapusHa ha..
BalasHapus